Rakyat Kecil
Menangis
Jenderal
Besar Meringis
Bobrok! Itulah satu kata yang
mewakili pemerintahan di Indonesia pada abad ke-21 ini. Sejujurnya rakyat pasti tidak
menginginkan pemerintahan yang seperti ini. Mereka mengharapkan pemerintahan
yang berdaulat, adil, dan makmur. Bobroknya pemerintahan Indonesia saat ini
disebabkan oleh banyak hal, di antaranya adalah ketidakpedulian, ketidakmampuan, kerakusan, praktik pembodohan, dan
gerakan penghancuran.
Petinggi publik dari sebuah negara merupakan jantung bagi kehidupan
rakyatnya. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras tak
ubahnya seperti analogi tikus yang ada di kandang macan. Uang rakyat yang
seharusnya digunakan untuk pembangunan menuju Indonesia maju malah menjadi
camilan sehari-hari para pejabat. Pancasila yang merupakan ideologi Indonesia
terkhianati dan ternodai kesuciannya oleh perlakuan-perlakuan mereka yang tidak
bertanggung jawab. Akankah kami makan akar sedangkan terigu menumpuk di
gudangmu?
Kami para rakyat yang
tidak punya uang banyak, mungkin hanya bisa makan sehari sekali. Sedangkan para
petinggi dalam hal makanan ataupun kebutuhan sehari-hari tidak pernah khawatir
kekurangan bahkan sampai-7 turunanpun hartanya tidak akan terhabiskan. Ironis sekali dengan rakyat. Satu hari makan
saja alhamdulillah, apalagi untuk-7 turunan?
Indonesia katanya merupakan negara agraris, negara yang pangannya
bisa mencukupi seluruh lapisan rakyatnya. Katanya,”kail dan jala cukup
menghidupimu”, akan tetapi para nelayan sekarang merugi karena banyak kapal-kapal
besar yang mencuri ikan-ikan Indonesia. Kapal-kapal besar tersebut menggunakan
pukat harimau hingga ikan-ikan kecil pun ikut mati terperangkap. Lama kelamaan ikan-ikan yang dicari para
nelayan lokalpun habis, mereka akan kehilangan sumber penghasilan. Petani-petani kecil pun mulai tergusur
lahannya karena pembangunan industri. Katanya, “di Indonesia tanah
surga”. Surga mungkin hanya untuk para jenderal-jenderal yang serakah dan
menjadi neraka untuk rakyat. Katanya, “di Indonesia tongkat kayu dan batu jadi
tanaman”. Nyatanya? Kayu-kayu di Indonesia bukannya menjadi tanaman,
melainkan pohon-pohon di hutan dibakar habis-habisan untuk keperluan industri yang menguntungkan pihak petinggi.
Indonesia juga telah dibodohi oleh bangsa asing. Sebagai contoh PT Freeport.
Apabila Indonesia bisa mengolah minyak di daerah penambangan Freeport tanpa ada
bantuan dari luar, maka negeri ini tentu akan memperoleh hasil yang tinggi. Hasil kerja sama
dengan pihak asing itu hanya membuat Indonesia mampu memperoleh 7% keuntungan
dari Freeport.
Uraian tersebut merupakan bentuk kerakusan dari para petinggi. Mereka
belajar tinggi-tinggi hanya untuk mencurangi rakyatnya. Asal mereka senang
apapun mereka lakukan. Uraian tersebut juga merupakan bentuk dari
ketidakmampuan penguasa untuk mengolah sumber daya alam. Walaupun masih banyak sdm (sumber daya
manusia) di Indonesia yang kurang
memenuhi syarat, pasti ada jalan keluar. Misalnya mengadakan
pelatihan-pelatihan dan beasiswa untuk rakyat-rakyat pintar yang tidak mampu
menyekolahkan anaknya. Generasi muda saat ini diharapkan untuk siap menerima
tongkat estafet kepemimpinan yang nantinya akan mengolah Indonesia menjadi
negara yang maju, bukan negara yang semakin bobrok.
Banyak sekali rakyat yang hidupnya sengsara menjadi semakin runyam. Akan
tetapi, realitas mengatakan bahwa para pejabat besar tetap saja
menggembor-gemborkan sejahterakan rakyat. Rakyat memilih seorang pemimpin dengan harapan besar
bahwa mereka bisa hidup sejahtera di bawah kepemimpinannya. Tetapi lagi-lagi
rakyat hanya mendapatkan harapan kosong. Rakyat Indonesia yang notabenenya merupakan orang bodoh hanya bisa menganggukkan
kepala saja, omongan rakyat tidak ada artinya. Rakyat bicara 1 kata, petinggi bisa menjawab dengan rangkaian
khotbah omong kosong yang sebenarnya rakyat sudah muak untuk mendengarnya. Apalah daya kami sebagai rakyat kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa. Kami hanya
punya dua tangan, sedangkan jenderal besar punya tangan kanan yang siap melindungi kebusukannya. Untuk hal yang sepele saja rakyat bisa dipenjara,
berbeda dengan petinggi negara yang melakukan korupsi besar-besaran hingga bisa melenggang pergi ke luar negeri.
Masalah bisa terselesaikan dengan pundi-pundi rupiah. Ini merupakan praktik
pembodohan yang dilakukan oleh petinggi. Pembodohan yang menjerumuskan negara
ke dalam lubang kemerosotan moral bangsa.
Rakyat diibaratkan sebagai arus yang hanya mampu berjalan
mengikuti apa yang diperintah oleh petinggi. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa
demi masa depan negara karena memang tidak mempunyai kekuasaan yang legal. Hati
para petinggi diibaratkan sebuah batu yang keras, hitam, dan penuh keburukan. Hanya air
yang bisa memecahkan batu tersebut. Namun, tidak sebentar waktu yang digunakan
air untuk dapat memecah batu tersebut.
Akhirnya dari semua
ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia perlu berbenah diri. Bumi
pertiwi membutuhkan sosok-sosok jenderal yang berdaya pikir tajam dan kritis,
bukan yang meringis melihat para rakyat menangis. Seorang petinggi publik
haruslah merupakan orang yang betul-betul bisa dijadikan suri tauladan untuk
para rakyatnya. Moralitas tersebut bisa
diturunkan kepada perilaku yang etis, nasionalis, dan bervisi pada rakyat.
Rakyat amat merindukan sosok bersahaja yang bisa mengolah negeri ini. Mudah-mudahan pejabat-pejabat publik segera dapat
mendewasakan sikap dan memainkan peranannya dengan arif dan bijaksana.