Minggu, 24 Januari 2016

CONTOH ESAY



Rakyat Kecil Menangis
Jenderal Besar Meringis

Bobrok! Itulah satu kata yang mewakili pemerintahan di Indonesia pada abad ke-21 ini. Sejujurnya rakyat pasti tidak menginginkan pemerintahan yang seperti ini. Mereka mengharapkan pemerintahan yang berdaulat, adil, dan makmur. Bobroknya pemerintahan Indonesia saat ini disebabkan oleh banyak hal, di antaranya adalah ketidakpedulian, ketidakmampuan, kerakusan, praktik pembodohan, dan gerakan penghancuran.
Petinggi publik dari sebuah negara merupakan jantung bagi kehidupan rakyatnya. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras tak ubahnya seperti analogi tikus yang ada di kandang macan. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan menuju Indonesia maju malah menjadi camilan sehari-hari para pejabat. Pancasila yang merupakan ideologi Indonesia terkhianati dan ternodai kesuciannya oleh perlakuan-perlakuan mereka yang tidak bertanggung jawab. Akankah kami makan akar sedangkan terigu menumpuk di gudangmu?
Kami para rakyat yang tidak punya uang banyak, mungkin hanya bisa makan sehari sekali. Sedangkan para petinggi dalam hal makanan ataupun kebutuhan sehari-hari tidak pernah khawatir kekurangan bahkan sampai-7 turunanpun hartanya tidak akan terhabiskan. Ironis sekali dengan rakyat. Satu hari makan saja alhamdulillah, apalagi untuk-7 turunan?   
Indonesia katanya merupakan negara agraris, negara yang pangannya bisa mencukupi seluruh lapisan rakyatnya. Katanya,”kail dan jala cukup menghidupimu”, akan tetapi para nelayan sekarang merugi karena banyak kapal-kapal besar yang mencuri ikan-ikan Indonesia. Kapal-kapal besar tersebut menggunakan pukat harimau hingga ikan-ikan kecil pun ikut mati terperangkap. Lama kelamaan ikan-ikan yang dicari para nelayan lokalpun habis, mereka akan kehilangan sumber penghasilan. Petani-petani kecil pun mulai tergusur lahannya karena pembangunan industri. Katanya, di Indonesia tanah surga”. Surga mungkin hanya untuk para jenderal-jenderal yang serakah dan menjadi neraka untuk rakyat. Katanya, “di Indonesia tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Nyatanya?  Kayu-kayu di Indonesia bukannya menjadi tanaman, melainkan pohon-pohon di hutan dibakar habis-habisan untuk keperluan industri yang menguntungkan pihak petinggi. Indonesia juga telah dibodohi oleh bangsa asing. Sebagai contoh PT Freeport. Apabila Indonesia bisa mengolah minyak di daerah penambangan Freeport tanpa ada bantuan dari luar, maka negeri ini tentu akan memperoleh hasil yang tinggi. Hasil kerja sama dengan pihak asing itu hanya membuat Indonesia mampu memperoleh 7% keuntungan dari Freeport.
Uraian tersebut merupakan bentuk kerakusan dari para petinggi. Mereka belajar tinggi-tinggi hanya untuk mencurangi rakyatnya. Asal mereka senang apapun mereka lakukan. Uraian tersebut juga merupakan bentuk dari ketidakmampuan penguasa untuk mengolah sumber daya alam. Walaupun masih banyak sdm (sumber daya manusia) di Indonesia yang kurang memenuhi syarat, pasti ada jalan keluar. Misalnya mengadakan pelatihan-pelatihan dan beasiswa untuk rakyat-rakyat pintar yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Generasi muda saat ini diharapkan untuk siap menerima tongkat estafet kepemimpinan yang nantinya akan mengolah Indonesia menjadi negara yang maju, bukan negara yang semakin bobrok.
Banyak sekali rakyat yang hidupnya sengsara menjadi semakin runyam. Akan tetapi, realitas mengatakan bahwa para pejabat besar tetap saja menggembor-gemborkan sejahterakan rakyat. Rakyat memilih seorang pemimpin dengan harapan besar bahwa mereka bisa hidup sejahtera di bawah kepemimpinannya. Tetapi lagi-lagi rakyat hanya mendapatkan harapan kosong. Rakyat Indonesia yang notabenenya merupakan orang bodoh hanya bisa menganggukkan kepala saja, omongan rakyat tidak ada artinya. Rakyat bicara 1 kata, petinggi bisa menjawab dengan rangkaian khotbah omong kosong yang sebenarnya rakyat sudah muak untuk mendengarnya. Apalah daya kami sebagai rakyat kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa. Kami hanya punya dua tangan, sedangkan jenderal besar punya tangan kanan yang siap melindungi kebusukannya. Untuk hal yang sepele saja rakyat bisa dipenjara, berbeda dengan petinggi negara yang melakukan korupsi besar-besaran hingga bisa melenggang pergi ke luar negeri. Masalah bisa terselesaikan dengan pundi-pundi rupiah. Ini merupakan praktik pembodohan yang dilakukan oleh petinggi. Pembodohan yang menjerumuskan negara ke dalam lubang kemerosotan moral bangsa.
Rakyat diibaratkan sebagai arus yang hanya mampu berjalan mengikuti apa yang diperintah oleh petinggi. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa demi masa depan negara karena memang tidak mempunyai kekuasaan yang legal. Hati para petinggi diibaratkan sebuah batu yang keras, hitam, dan penuh keburukan. Hanya air yang bisa memecahkan batu tersebut. Namun, tidak sebentar waktu yang digunakan air untuk dapat memecah batu tersebut.
Akhirnya dari semua ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia perlu berbenah diri. Bumi pertiwi membutuhkan sosok-sosok jenderal yang berdaya pikir tajam dan kritis, bukan yang meringis melihat para rakyat menangis. Seorang petinggi publik haruslah merupakan orang yang betul-betul bisa dijadikan suri tauladan untuk para rakyatnya. Moralitas tersebut bisa diturunkan kepada perilaku yang etis, nasionalis, dan bervisi pada rakyat. Rakyat amat merindukan sosok bersahaja yang bisa mengolah negeri ini. Mudah-mudahan pejabat-pejabat publik segera dapat mendewasakan sikap dan memainkan peranannya dengan arif dan bijaksana.

Sejarah Desa Mayong



ASAL - USUL
DESA MAYONG

Setelah ditelusuri dan digali dari berbagai sumber, asal usul Desa Mayong memiliki cerita yang variatif. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya sumber cerita yang dapat dipercaya kemudian dijadikan pedoman sebagai orang pertama yang datang atau babat Desa Mayong.
Dari sumber cerita tersebut legenda yang saya angkat  adalah tokoh yang berasal dari Dusun Mayong Tengah, yang konon katanya bernama Pojok Mayong. Konon diceritakan dahulu kala Joko Tingkir yang sering disebut dengan sebutan Mas Karebet pergi berguru ke kadilangu Jawa Tengah, yakni ke sunan kalijaga. Suatu ketika dia bercerita kepada sunan kalijaga bahwa di daerah asalnya masih sangat minim sekali tentang pengetahuan ilmu agama islam. Setelah mendengar cerita dari Joko Tingkir hati sunan kalijaga tergugah untuk dapat menyebarkan agama islam di daerah asal Joko Tingkir. Akhirnya dengan i’tikad yang baik sunan kalijaga mengutus salah satu santri pilihannya yang bernama Joyo untuk pergi ke daerah asal Joko Tingkir dengan tujuan berdakwah menyebarkan agama islam. Joyo adalah salah satu murid sunan kalijaga yang berasal dari jawa tengah. Setelah mendapatkan tugas dari sunan kalijaga, Joyo langsung menemui kedua orang tuanya dan menceritakan maksud kepulangannya dari perguruan sunan kalijaga bahwa beliau diutus oleh sunan kalijaga menyiarkan agama islam di daerah asal Mas Karebet (Joko Tingkir)
Setelah mendengar cerita dari Joyo tersebut, kedua orang tuanya bersyukur bahwa anaknya yang telah lama berguru ke Kadilangu telah berhasil. Dan langsung saja kedua orang tuanya merestui kepergian Joyo ke daerah asal Joko Tingkir untuk menyebarkan agama islam.
Dengan restu dari kedua orang tua, Joyo berangkat menuju daerah asal Joko Tingkir yang  bernama desa Pringgoboyo dengan menaiki kendaraan sampan (rakit). Dalam perjalanan menuju desa Pringgoboyo kendaraan Joyo mengalami hilang kendali dan tersapu oleh gulungan ombak sehingga Joyo tenggelam. Berhari – hari Joyo tenggelam dan terombang – ambing oleh gulungan ombak di laut sehingga pada akhirnya dia terdampar di suatu daerah atau suatu lembah bengawan solo yang penuh dengan semak belukar. Melihat keadaan dia yang tidak tahu letak desa Pringgoboyo akibat terdampar di wilayah yang tidak dia kenali sebelumnya, akhirnya Joyo memutuskan untuk mendirikan rumah di tempat dia terdampar dengan harapan suatu saat dia dapat menyebarkan agama islam di daerah tersebut.
Setelah sekian lama Joyo tinggal di lembah bengawan solo, akhirnya dia mencoba mendirikan perguruan islam (pesantren). Usahanya untuk mendirikan perguruan islam tersebut tidak sia – sia. Karena banyak santri dari daerah sekitar bengawan solo yang berguru kepadanya. Dan para santrinya memamanggil Joyo dengan sebutan Mbah Joyo. Tidak sedikit pula santri yang sudah lulus dari pesantrennya mendirikan rumah di sekitar Pesantren Mbah Joyo. Sehingga lembah yang pada awalnya dipenuhi dengan semak belukar pada akhirnya menjadi sebuah desa.
Desa baru tersebut belum mempunyai nama, dan para penduduk yang mayoritas adalah santri Mbah Joyo sendiri menamai desa baru yang mereka tempati itu dengan sebutan desa “Pojok” karena mereka melihat  rumah Mbah Joyo sang guru berada di ujung timur laut bengawan solo (pojok). 
Seiring dengan berjalannya waktu, Mbah Joyo berkeinginan untuk mengirim para santrinya untuk menyebarkan agama islam di daerah sekitar desa Pojok. Para santrinyapun akhirnya menyebar di berbagai wilayah untuk berdakwah menyebarkan agama islam. Dengan kedatangan santri – santri Mbah Joyo tersebut, daerah sekitar desa Pojok yang awal mulanya mempercayai hal –  hal yang mistik serta awam dengan ajaran agama islam, lambat laun berubah menjadi desa yang memahami ajaran agama islam dan meninggalkan kebudayaan – kebudayaan yang berbau mistik sebelumnya.
Dengan berubahnya kebudayaan yang berbau mistik menjadi kebudayaan yang berbau ajaran agama islam, penduduk desa tersebut merasa ternaungi karena mereka merasa diselamatkan dari jalan yang sesat oleh para santri Mbah Joyo. Akhirnya para penduduk sekitar menyebut desa Pojok dengan sebutan Pojok Mayong, Karena mereka melihat rumah dan pesantren Mbah Joyo, orang yang pertama kali menyiarkan agama islam di daerah itu terletak di Pojok Sungai bengawan solo serta berkat kegigihan beliau dalam menyebarkan agama islam daerah yang awal mulanya semak belukar berubah menjadi desa yang penduduknya taat dengan ajaran agama islam. Dan keberhasilannya dalam menyiarkan agama islam di desa tersebut membawa dampak yang sangat  besar bagi daerah sekitar desa tersebut. Serta berkat santri Mbah Joyo para penduduknya merasa ternaungi, terpayungi, terlindungi. Akhirnya desa Pojok lebih dikenal dengan sebutan “Pojok Mayong”.
Seiring dengan berjalannya waktu, Desa Pojok Mayong mengalami pergantian nama. Hal itu disebabkan oleh adanya kepercayaan bahwa Desa Pojok Mayong, penduduk atau masyarakatnya akan selalu merasa terpojok. Akhirnya desa Pojok Mayong berganti nama menjadi desa Mayong yang artinya manaungi, mengayomi, dan melindungi.




CONTOH CERPEN



AWAN BERSISIK KELAM
Botol kecil tak pernah luput dari genggaman tangannya. Seakan ia jadikan sebagai tumpuan hidupnya. Dengan mata yang menyala-nyala ia menyusuri tiap sudut kota. Tak tau ke mana arah angin akan membawanya. Di sudut malam dingin diteguknya minuman yang ia puja. Itulah sosok Andika dengan pakaian lusuh yang melekat ditubuhnya.
Jarum jam sudah menunjukan angka 03.00, Namun Andika belum juga beranjak pulang. Entah setan apa yang merasuki pikirannya, hingga ia lupa dengan segala yang tercipta. Lupa akan bidadari dan malaikat kecil yang selalu setia menunggu kehadirannya. Di sudut ruang kecil, Any wanita yang ia kagumi dengan tubuh mungilnya hanya bisa bersandar pada dinding kaca, meratap dengan pandangan kosong menunggu kedatangan sosok Andika.
Tiba-tiba “Brakkk” suara keras berdentum memecah gendang telinga, membangunkan Any dari lamunan kosongnya. Any sontak  kaget dan bangun beranjak ke arah pintu. Tergambar di sudut bola matanya sosok yang ia kenal. Ya...... itu adalah Andika lelaki yang membuat hatinya berkecamuk dirundung perasaan gelisah sepanjang malam. Ia tergolek lemah tak berdaya di halaman rumah, tak luput dari beling kecil berada di genggamannya. Aroma khas botol itu menusuk rongga hidung, seakan mengisaratkan jati dirinya. Lagi-lagi diteguknya minuman pembawa sesat itu.
Ketika fajar telah lingsir, dinding-dinding kacapun terbias akan pancaran sinar mentari, terdengar suara lirih dari sudut kamar sembari memanggil, ayah.....dengan melempar senyum dia berlari memeluk erat tubuh Andika, Ia adalah Geby sang malaikat kecil yang hadir dalam kehidupan Andika. Ingin rasanya ia menyalurkan segala kerinduan yang menyelimuti hatinya selama ini kepada Dika, namun tak pernah terlukis oleh Geby, dengan mata terkatup-katup sontak Andika menyambar bagaikan petir “Jangan ganggu tidurku” seakan ia tak mau diganggu oleh siapapun. Mendengar sambaran itu malaikat kecilpun tubuhnya bergetar, detak jantungnya terpacu lebih cepat, parasnya pucat, embun matanya tak sanggup ia tahan terjatuh membasahi pipi mungilnya. Dia berlari ke kamar dengan hati terbalut luka.
  Melihat itu semua, Any hanya bisa tertegun tak percaya kalau sosok yang dulu ia kagumi kini tak punya hati nurani. Seteguk air mampu membutakan segalanya dan menutup jalan kebenaran. Kini gendang telinganya tak mampu menerima getaran dari sekitarnya. Matanya seakan tertutup terbalut oleh egonya. Gemericik nyanyian kalbu tak mampu lagi menggetarkan sukma hatinya. Botol kecil berisi minuman mengubah alam bawah sadarnya, membawa ia ke lembah nista yang tak mampu dijamah oleh naluri hati dan logika.
Tak lama kemudian Any ..... Any...... Dentuman suara itu bergema di setiap sudut rumah. Rupanya Andika telah bangkit dari alam mimpinya. Ia memanggil Any dengan nada tersengal-sengal, Any ...a ...ni, alkohol yang ia teguk semalam rupanya masih mengalir deras di urat nadinya. Dengan suara gemetar Any menghampiri Dika seraya berkata “Engkau sudah bangun Dika???” semalam kau meneguk air botol itu lagi??? Sadarlah ....Beling yang selalu kau genggam hanya akan membawamu jauh dari jalan kebenaran dan menuju lembah kenistaan.
Diam! Aku tak butuh khutbah darimu, biarkan aku mencari kehidupanku sendiri. Bentak Dika bernada emosi. Matanya berkobar dengan pandangan nanar. Selebihnya botol dengan isi yang ditenggak sepuasnya ia hancurkan. Pecahan itu bercipratan, beling di tangan kiri, yang kanan menunjuk-nunjuk melempar apapun sesuka hati. Tak peduli hidupnya jadi tontonan bahkan berita. Penjelasannya hanya menemui tembok beku. Wajahnya adalah kenyataan yang terbuat dari bongkahan benteng dengan kepala dan hati buntu. Maaf Any, tak gampang kau yakini sikapku (Ia beranjak pergi meninggalkan Any).
Menghadapi kenyataan pahit itu, Any hanya bisa bersabar dan pasrah kepada Sang Khalik berharap Andika kembali berada di garis lintangnya.
Dari sudut jalan terlukis sosok alif yang suci sedang berjalan menyusuri kerasnya bebatuan. Tas kecil bergelantung di pundaknya. Rupanya itu Geby malaikat kecil telah pulang dari tempat menimba ilmu. Dihempaskannya tas kecil di pundaknya seraya berkata “Bu... Ayah dimana? Geby ingin bermain dengan Ayah” Any tak mampu berucap, lidahnya kaku ketika mendengar malikat kecilnya bertanya. Ia tak mampu menjawabnya, tak ingin rasanya Geby tahu keadaan Dika yang sebenarnya. Sang alif begitu merindukan Ayahnya.
Mega mendung, cakrawala, burung camar kembali ke sarangnya, waktu Any dihabiskan untuk menemani malikat kecilnya yaitu Geby. Ia menjelma jadi sosok Ibu sekaligus ayah untuk Geby. Miris memang, tapi inilah garis takdir yang harus ia jalani. Harapan yang ia gantungkan selama ini rasanya telah usang termakan waktu.
 Jarum jam terus berputar layaknya bumi berputar pada porosnya, mega lingsir termakan gelapnya mendung. Namun sosok lelaki bernuansa botol bayangannya tak jua terbias di dinding kaca. Sedangkan malaikat kecil terus merintih dan merengek merindukan belaian kasih sayang darinya. Tekadnya begitu menyala ingin bertemu dengan lelaki botol itu. Bersandarkan pada dinding beku ia menghabiskan waktu malamnya hanya untuk menunggu kedatangan lelaki bernuansah alkohol itu.
Di tengah hening malam berselimutkan keresahan terdengar dentuman suara Brakkk ..... menabuh gendang telinga, Any... Any..... lagi-lagi teriakan itu memanggil-manggil dari kejauhan. Tak butuh waktu lama Any yang kala itu menemani Geby berlari melihat keadaan di sekitar rumah. Sorot matanya seakan menyusuri alam yang terbalut pekatnya malam. Lagi-lagi tergambar dengan jelas sosok lelaki tergeletak di halamam rumah. Itulah Andika dengan nuansah beling melekat pada jiwanya.
Entah kemana arah pikirannya? Di mana alam sadarnya? Masihkah ada nurani pada jiwannya? (Bisik Any dalam hati).
Syair nada alarm menyadarkan insan dari dengkur panjang. Nyanyian burung nuri kembali berdendang sahut menyahut menambah keindahan keagungan Tuhan. Di sudut mata masih terlihat Dika tergeletak lusuh dengan tubuh keringnya. Dengan segenap rasa kerinduan, sang malaikat kecil mengendap-ngendap berjalan menghampiri Andika. Iapun merengek manja “Ayah .......sambil memeluk Andika. Sontak Andika terbangun dari mimpinya. Dengan tubuh yang lemah, mata yang terkatup-katup ia berusaha berdiri dan berkata “Geby jangan ganggu ayah ...., ayah mau melepas kepenatan yang singgah di tubuh ini.
Geby yang hanya malaikat kecil tak berdosa berkata dengan manja “Ayah dalam hidupku tak pernah aku minta apapun darimu. Cukup satu pintaku padamu, temani aku ke sekolah yah untuk kali ini saja. Hanya itu yang aku inginkan. Dengan nada memelas ia merengek kepada Dika.
Diam anak kecil! Jangan kau buat bising telingaku, pergi sana dengan Ibumu (bentak Dika) Bagaikan tersambar petir tubuh Geby bergetar, matanya berbinar-binar dan cairan kristal terurai kembali membasahi pipinya. Ia ketakutan dan berlari ke Ibunya dengan isak tangis, ia memeluk Any seraya berkata “Ayah jahat!”
 Jarum jam menunjukan angka 07.00 wib, senyumnya kembali tersirat di bibir Geby, tas kecil bergelayut di pundaknya pertanda ia akan berangkat ke sekolah. Seperti biasanya pagi itu ia diantar Ibunya. Tergurat senyum bahagia di wajahnya, canda tawa mengiringi langkah keduanya, serasa tak pernah ada luka dalam hidup mereka. Tak pernah disangka kebahagiaan yang mereka rasakan dalam sekejap telah lenyap. Brakk sebuah mobil besar menghempaskan tubuh Geby dan Any. Mereka terpental hingga ke ruas jalan. Sekilas Geby menoleh pada Any dan melempar senyum manisnya seraya berkata “Aku sayang Ibu” sebelum ia menutup kelopak matanya. Kini terlihat dua sosok tubuh bersimpah darah tak bernyawa di tengah ruas jalan.
Warta kepergian Geby dan Any bergema di gendang telinga Dika, menggetarkan hati kerasnya. Iapun berlari menghampiri dua orang yang telah menyayanginya. Namun keadaan telah berbeda. Dua orang itu kini sudah tak bernafas lagi. Melihat akan kenyataan itu Deraian air matanya memecah sukma hatinya. Memecah segala tabir yang telah membutakannya. Rasa bersalah dan menyesal kini menyelimuti kalbunya. Ia tersadar selama ini ia telah menyia-nyiakan bidadari dan malaikat kecil yang hadir dalam hidupnya.
Hidup tidak seharusnya sesat. Ada pertimbangan nalar, kapan ke kanan dan ke kiri. Ke kanan melangkah menjauhi arah, dan ke kiri memilih kepuasan yang lain. Kita bebas memilih!

Karya: Siti Mudrikah