AWAN BERSISIK KELAM
Botol kecil tak pernah luput dari genggaman
tangannya. Seakan ia jadikan sebagai tumpuan hidupnya. Dengan mata yang
menyala-nyala ia menyusuri tiap sudut kota. Tak tau ke mana arah angin akan
membawanya. Di sudut malam dingin diteguknya minuman yang ia puja. Itulah sosok
Andika dengan pakaian lusuh yang melekat ditubuhnya.
Jarum jam sudah menunjukan
angka 03.00, Namun Andika belum juga beranjak pulang. Entah setan apa yang
merasuki pikirannya, hingga ia lupa dengan segala yang tercipta. Lupa akan
bidadari dan malaikat kecil yang selalu setia menunggu kehadirannya. Di sudut
ruang kecil, Any wanita yang ia kagumi dengan tubuh mungilnya hanya bisa
bersandar pada dinding kaca, meratap dengan pandangan kosong menunggu
kedatangan sosok Andika.
Tiba-tiba “Brakkk”
suara keras berdentum memecah gendang telinga, membangunkan Any dari lamunan
kosongnya. Any sontak kaget dan bangun
beranjak ke arah pintu. Tergambar di sudut bola matanya sosok yang ia kenal.
Ya...... itu adalah Andika lelaki yang membuat hatinya berkecamuk dirundung
perasaan gelisah sepanjang malam. Ia tergolek lemah tak berdaya di halaman
rumah, tak luput dari beling kecil berada di genggamannya. Aroma khas botol itu
menusuk rongga hidung, seakan mengisaratkan jati dirinya. Lagi-lagi diteguknya
minuman pembawa sesat itu.
Ketika fajar telah
lingsir, dinding-dinding kacapun terbias akan pancaran sinar mentari, terdengar
suara lirih dari sudut kamar sembari memanggil, ayah.....dengan melempar senyum
dia berlari memeluk erat tubuh Andika, Ia adalah Geby sang malaikat kecil yang
hadir dalam kehidupan Andika. Ingin rasanya ia menyalurkan segala kerinduan
yang menyelimuti hatinya selama ini kepada Dika, namun tak pernah terlukis oleh
Geby, dengan mata terkatup-katup sontak Andika menyambar bagaikan petir “Jangan
ganggu tidurku” seakan ia tak mau diganggu oleh siapapun. Mendengar sambaran
itu malaikat kecilpun tubuhnya bergetar, detak jantungnya terpacu lebih cepat,
parasnya pucat, embun matanya tak sanggup ia tahan terjatuh membasahi pipi
mungilnya. Dia berlari ke kamar dengan hati terbalut luka.
Melihat itu semua, Any
hanya bisa tertegun tak percaya kalau sosok yang dulu ia kagumi kini tak punya
hati nurani. Seteguk air mampu membutakan segalanya dan menutup jalan
kebenaran. Kini gendang telinganya tak mampu menerima getaran dari sekitarnya.
Matanya seakan tertutup terbalut oleh egonya. Gemericik nyanyian kalbu tak
mampu lagi menggetarkan sukma hatinya. Botol kecil berisi minuman mengubah alam
bawah sadarnya, membawa ia ke lembah nista yang tak mampu dijamah oleh naluri
hati dan logika.
Tak lama kemudian Any
..... Any...... Dentuman suara itu bergema di setiap sudut rumah. Rupanya Andika
telah bangkit dari alam mimpinya. Ia memanggil Any dengan nada
tersengal-sengal, Any ...a ...ni, alkohol yang ia teguk semalam rupanya masih
mengalir deras di urat nadinya. Dengan suara gemetar Any menghampiri Dika
seraya berkata “Engkau sudah bangun Dika???” semalam kau meneguk air botol itu
lagi??? Sadarlah ....Beling yang selalu kau genggam hanya akan membawamu jauh
dari jalan kebenaran dan menuju lembah kenistaan.
Diam! Aku tak butuh
khutbah darimu, biarkan aku mencari kehidupanku sendiri. Bentak Dika bernada
emosi. Matanya berkobar dengan pandangan nanar. Selebihnya botol dengan isi
yang ditenggak sepuasnya ia hancurkan. Pecahan itu bercipratan, beling di
tangan kiri, yang kanan menunjuk-nunjuk melempar apapun sesuka hati. Tak peduli
hidupnya jadi tontonan bahkan berita. Penjelasannya hanya menemui tembok beku.
Wajahnya adalah kenyataan yang terbuat dari bongkahan benteng dengan kepala dan
hati buntu. Maaf Any, tak gampang kau yakini sikapku (Ia beranjak pergi
meninggalkan Any).
Menghadapi kenyataan
pahit itu, Any hanya bisa bersabar dan pasrah kepada Sang Khalik berharap
Andika kembali berada di garis lintangnya.
Dari sudut jalan
terlukis sosok alif yang suci sedang berjalan menyusuri kerasnya bebatuan. Tas
kecil bergelantung di pundaknya. Rupanya itu Geby malaikat kecil telah pulang
dari tempat menimba ilmu. Dihempaskannya tas kecil di pundaknya seraya berkata
“Bu... Ayah dimana? Geby ingin bermain dengan Ayah” Any tak mampu berucap,
lidahnya kaku ketika mendengar malikat kecilnya bertanya. Ia tak mampu
menjawabnya, tak ingin rasanya Geby tahu keadaan Dika yang sebenarnya. Sang
alif begitu merindukan Ayahnya.
Mega mendung,
cakrawala, burung camar kembali ke sarangnya, waktu Any dihabiskan untuk menemani
malikat kecilnya yaitu Geby. Ia menjelma jadi sosok Ibu sekaligus ayah untuk Geby.
Miris memang, tapi inilah garis takdir yang harus ia jalani. Harapan yang ia
gantungkan selama ini rasanya telah usang termakan waktu.
Jarum jam terus
berputar layaknya bumi berputar pada porosnya, mega lingsir termakan gelapnya
mendung. Namun sosok lelaki bernuansa botol bayangannya tak jua terbias di
dinding kaca. Sedangkan malaikat kecil terus merintih dan merengek merindukan
belaian kasih sayang darinya. Tekadnya begitu menyala ingin bertemu dengan
lelaki botol itu. Bersandarkan pada dinding beku ia menghabiskan waktu malamnya
hanya untuk menunggu kedatangan lelaki bernuansah alkohol itu.
Di tengah hening malam
berselimutkan keresahan terdengar dentuman suara Brakkk ..... menabuh gendang
telinga, Any... Any..... lagi-lagi teriakan itu memanggil-manggil dari
kejauhan. Tak butuh waktu lama Any yang kala itu menemani Geby berlari melihat
keadaan di sekitar rumah. Sorot matanya seakan menyusuri alam yang terbalut
pekatnya malam. Lagi-lagi tergambar dengan jelas sosok lelaki tergeletak di
halamam rumah. Itulah Andika dengan nuansah beling melekat pada jiwanya.
Entah kemana arah
pikirannya? Di mana alam sadarnya? Masihkah ada nurani pada jiwannya? (Bisik Any
dalam hati).
Syair nada alarm
menyadarkan insan dari dengkur panjang. Nyanyian burung nuri kembali berdendang
sahut menyahut menambah keindahan keagungan Tuhan. Di sudut mata masih terlihat
Dika tergeletak lusuh dengan tubuh keringnya. Dengan segenap rasa kerinduan, sang
malaikat kecil mengendap-ngendap berjalan menghampiri Andika. Iapun merengek
manja “Ayah .......sambil memeluk Andika. Sontak Andika terbangun dari
mimpinya. Dengan tubuh yang lemah, mata yang terkatup-katup ia berusaha berdiri
dan berkata “Geby jangan ganggu ayah ...., ayah mau melepas kepenatan yang
singgah di tubuh ini.
Geby yang hanya
malaikat kecil tak berdosa berkata dengan manja “Ayah dalam hidupku tak pernah
aku minta apapun darimu. Cukup satu pintaku padamu, temani aku ke sekolah yah
untuk kali ini saja. Hanya itu yang aku inginkan. Dengan nada memelas ia
merengek kepada Dika.
Diam anak kecil! Jangan
kau buat bising telingaku, pergi sana dengan Ibumu (bentak Dika) Bagaikan
tersambar petir tubuh Geby bergetar, matanya berbinar-binar dan cairan kristal
terurai kembali membasahi pipinya. Ia ketakutan dan berlari ke Ibunya dengan
isak tangis, ia memeluk Any seraya berkata “Ayah jahat!”
Jarum jam menunjukan
angka 07.00 wib, senyumnya kembali tersirat di bibir Geby, tas kecil bergelayut
di pundaknya pertanda ia akan berangkat ke sekolah. Seperti biasanya pagi itu
ia diantar Ibunya. Tergurat senyum bahagia di wajahnya, canda tawa mengiringi
langkah keduanya, serasa tak pernah ada luka dalam hidup mereka. Tak pernah
disangka kebahagiaan yang mereka rasakan dalam sekejap telah lenyap. Brakk sebuah
mobil besar menghempaskan tubuh Geby dan Any. Mereka terpental hingga ke ruas
jalan. Sekilas Geby menoleh pada Any dan melempar senyum manisnya seraya
berkata “Aku sayang Ibu” sebelum ia menutup kelopak matanya. Kini terlihat dua
sosok tubuh bersimpah darah tak bernyawa di tengah ruas jalan.
Warta kepergian Geby
dan Any bergema di gendang telinga Dika, menggetarkan hati kerasnya. Iapun
berlari menghampiri dua orang yang telah menyayanginya. Namun keadaan telah
berbeda. Dua orang itu kini sudah tak bernafas lagi. Melihat akan kenyataan itu
Deraian air matanya memecah sukma hatinya. Memecah segala tabir yang telah
membutakannya. Rasa bersalah dan menyesal kini menyelimuti kalbunya. Ia
tersadar selama ini ia telah menyia-nyiakan bidadari dan malaikat kecil yang
hadir dalam hidupnya.
Hidup tidak seharusnya
sesat. Ada pertimbangan nalar, kapan ke kanan dan ke kiri. Ke kanan melangkah
menjauhi arah, dan ke kiri memilih kepuasan yang lain. Kita bebas memilih!
Karya: Siti Mudrikah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar