Minggu, 24 Januari 2016

CONTOH CERPEN



AWAN BERSISIK KELAM
Botol kecil tak pernah luput dari genggaman tangannya. Seakan ia jadikan sebagai tumpuan hidupnya. Dengan mata yang menyala-nyala ia menyusuri tiap sudut kota. Tak tau ke mana arah angin akan membawanya. Di sudut malam dingin diteguknya minuman yang ia puja. Itulah sosok Andika dengan pakaian lusuh yang melekat ditubuhnya.
Jarum jam sudah menunjukan angka 03.00, Namun Andika belum juga beranjak pulang. Entah setan apa yang merasuki pikirannya, hingga ia lupa dengan segala yang tercipta. Lupa akan bidadari dan malaikat kecil yang selalu setia menunggu kehadirannya. Di sudut ruang kecil, Any wanita yang ia kagumi dengan tubuh mungilnya hanya bisa bersandar pada dinding kaca, meratap dengan pandangan kosong menunggu kedatangan sosok Andika.
Tiba-tiba “Brakkk” suara keras berdentum memecah gendang telinga, membangunkan Any dari lamunan kosongnya. Any sontak  kaget dan bangun beranjak ke arah pintu. Tergambar di sudut bola matanya sosok yang ia kenal. Ya...... itu adalah Andika lelaki yang membuat hatinya berkecamuk dirundung perasaan gelisah sepanjang malam. Ia tergolek lemah tak berdaya di halaman rumah, tak luput dari beling kecil berada di genggamannya. Aroma khas botol itu menusuk rongga hidung, seakan mengisaratkan jati dirinya. Lagi-lagi diteguknya minuman pembawa sesat itu.
Ketika fajar telah lingsir, dinding-dinding kacapun terbias akan pancaran sinar mentari, terdengar suara lirih dari sudut kamar sembari memanggil, ayah.....dengan melempar senyum dia berlari memeluk erat tubuh Andika, Ia adalah Geby sang malaikat kecil yang hadir dalam kehidupan Andika. Ingin rasanya ia menyalurkan segala kerinduan yang menyelimuti hatinya selama ini kepada Dika, namun tak pernah terlukis oleh Geby, dengan mata terkatup-katup sontak Andika menyambar bagaikan petir “Jangan ganggu tidurku” seakan ia tak mau diganggu oleh siapapun. Mendengar sambaran itu malaikat kecilpun tubuhnya bergetar, detak jantungnya terpacu lebih cepat, parasnya pucat, embun matanya tak sanggup ia tahan terjatuh membasahi pipi mungilnya. Dia berlari ke kamar dengan hati terbalut luka.
  Melihat itu semua, Any hanya bisa tertegun tak percaya kalau sosok yang dulu ia kagumi kini tak punya hati nurani. Seteguk air mampu membutakan segalanya dan menutup jalan kebenaran. Kini gendang telinganya tak mampu menerima getaran dari sekitarnya. Matanya seakan tertutup terbalut oleh egonya. Gemericik nyanyian kalbu tak mampu lagi menggetarkan sukma hatinya. Botol kecil berisi minuman mengubah alam bawah sadarnya, membawa ia ke lembah nista yang tak mampu dijamah oleh naluri hati dan logika.
Tak lama kemudian Any ..... Any...... Dentuman suara itu bergema di setiap sudut rumah. Rupanya Andika telah bangkit dari alam mimpinya. Ia memanggil Any dengan nada tersengal-sengal, Any ...a ...ni, alkohol yang ia teguk semalam rupanya masih mengalir deras di urat nadinya. Dengan suara gemetar Any menghampiri Dika seraya berkata “Engkau sudah bangun Dika???” semalam kau meneguk air botol itu lagi??? Sadarlah ....Beling yang selalu kau genggam hanya akan membawamu jauh dari jalan kebenaran dan menuju lembah kenistaan.
Diam! Aku tak butuh khutbah darimu, biarkan aku mencari kehidupanku sendiri. Bentak Dika bernada emosi. Matanya berkobar dengan pandangan nanar. Selebihnya botol dengan isi yang ditenggak sepuasnya ia hancurkan. Pecahan itu bercipratan, beling di tangan kiri, yang kanan menunjuk-nunjuk melempar apapun sesuka hati. Tak peduli hidupnya jadi tontonan bahkan berita. Penjelasannya hanya menemui tembok beku. Wajahnya adalah kenyataan yang terbuat dari bongkahan benteng dengan kepala dan hati buntu. Maaf Any, tak gampang kau yakini sikapku (Ia beranjak pergi meninggalkan Any).
Menghadapi kenyataan pahit itu, Any hanya bisa bersabar dan pasrah kepada Sang Khalik berharap Andika kembali berada di garis lintangnya.
Dari sudut jalan terlukis sosok alif yang suci sedang berjalan menyusuri kerasnya bebatuan. Tas kecil bergelantung di pundaknya. Rupanya itu Geby malaikat kecil telah pulang dari tempat menimba ilmu. Dihempaskannya tas kecil di pundaknya seraya berkata “Bu... Ayah dimana? Geby ingin bermain dengan Ayah” Any tak mampu berucap, lidahnya kaku ketika mendengar malikat kecilnya bertanya. Ia tak mampu menjawabnya, tak ingin rasanya Geby tahu keadaan Dika yang sebenarnya. Sang alif begitu merindukan Ayahnya.
Mega mendung, cakrawala, burung camar kembali ke sarangnya, waktu Any dihabiskan untuk menemani malikat kecilnya yaitu Geby. Ia menjelma jadi sosok Ibu sekaligus ayah untuk Geby. Miris memang, tapi inilah garis takdir yang harus ia jalani. Harapan yang ia gantungkan selama ini rasanya telah usang termakan waktu.
 Jarum jam terus berputar layaknya bumi berputar pada porosnya, mega lingsir termakan gelapnya mendung. Namun sosok lelaki bernuansa botol bayangannya tak jua terbias di dinding kaca. Sedangkan malaikat kecil terus merintih dan merengek merindukan belaian kasih sayang darinya. Tekadnya begitu menyala ingin bertemu dengan lelaki botol itu. Bersandarkan pada dinding beku ia menghabiskan waktu malamnya hanya untuk menunggu kedatangan lelaki bernuansah alkohol itu.
Di tengah hening malam berselimutkan keresahan terdengar dentuman suara Brakkk ..... menabuh gendang telinga, Any... Any..... lagi-lagi teriakan itu memanggil-manggil dari kejauhan. Tak butuh waktu lama Any yang kala itu menemani Geby berlari melihat keadaan di sekitar rumah. Sorot matanya seakan menyusuri alam yang terbalut pekatnya malam. Lagi-lagi tergambar dengan jelas sosok lelaki tergeletak di halamam rumah. Itulah Andika dengan nuansah beling melekat pada jiwanya.
Entah kemana arah pikirannya? Di mana alam sadarnya? Masihkah ada nurani pada jiwannya? (Bisik Any dalam hati).
Syair nada alarm menyadarkan insan dari dengkur panjang. Nyanyian burung nuri kembali berdendang sahut menyahut menambah keindahan keagungan Tuhan. Di sudut mata masih terlihat Dika tergeletak lusuh dengan tubuh keringnya. Dengan segenap rasa kerinduan, sang malaikat kecil mengendap-ngendap berjalan menghampiri Andika. Iapun merengek manja “Ayah .......sambil memeluk Andika. Sontak Andika terbangun dari mimpinya. Dengan tubuh yang lemah, mata yang terkatup-katup ia berusaha berdiri dan berkata “Geby jangan ganggu ayah ...., ayah mau melepas kepenatan yang singgah di tubuh ini.
Geby yang hanya malaikat kecil tak berdosa berkata dengan manja “Ayah dalam hidupku tak pernah aku minta apapun darimu. Cukup satu pintaku padamu, temani aku ke sekolah yah untuk kali ini saja. Hanya itu yang aku inginkan. Dengan nada memelas ia merengek kepada Dika.
Diam anak kecil! Jangan kau buat bising telingaku, pergi sana dengan Ibumu (bentak Dika) Bagaikan tersambar petir tubuh Geby bergetar, matanya berbinar-binar dan cairan kristal terurai kembali membasahi pipinya. Ia ketakutan dan berlari ke Ibunya dengan isak tangis, ia memeluk Any seraya berkata “Ayah jahat!”
 Jarum jam menunjukan angka 07.00 wib, senyumnya kembali tersirat di bibir Geby, tas kecil bergelayut di pundaknya pertanda ia akan berangkat ke sekolah. Seperti biasanya pagi itu ia diantar Ibunya. Tergurat senyum bahagia di wajahnya, canda tawa mengiringi langkah keduanya, serasa tak pernah ada luka dalam hidup mereka. Tak pernah disangka kebahagiaan yang mereka rasakan dalam sekejap telah lenyap. Brakk sebuah mobil besar menghempaskan tubuh Geby dan Any. Mereka terpental hingga ke ruas jalan. Sekilas Geby menoleh pada Any dan melempar senyum manisnya seraya berkata “Aku sayang Ibu” sebelum ia menutup kelopak matanya. Kini terlihat dua sosok tubuh bersimpah darah tak bernyawa di tengah ruas jalan.
Warta kepergian Geby dan Any bergema di gendang telinga Dika, menggetarkan hati kerasnya. Iapun berlari menghampiri dua orang yang telah menyayanginya. Namun keadaan telah berbeda. Dua orang itu kini sudah tak bernafas lagi. Melihat akan kenyataan itu Deraian air matanya memecah sukma hatinya. Memecah segala tabir yang telah membutakannya. Rasa bersalah dan menyesal kini menyelimuti kalbunya. Ia tersadar selama ini ia telah menyia-nyiakan bidadari dan malaikat kecil yang hadir dalam hidupnya.
Hidup tidak seharusnya sesat. Ada pertimbangan nalar, kapan ke kanan dan ke kiri. Ke kanan melangkah menjauhi arah, dan ke kiri memilih kepuasan yang lain. Kita bebas memilih!

Karya: Siti Mudrikah



                                                   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar